Siapa Sultan Pertama Kesultanan Aceh Darussalam

Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam

Raja pertama yang menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Shah atau Raja Ibrahim. Selama 14 tahun (1514-1528 ), ia memerintah di kerajaan yang merupakan gabungan Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Aceh ini.

Kesultanan Aceh Darussalam memang terlahir dari fusi dua kerajaan tersebut. Menurut Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniri yang ditulis tahun 1636, kala itu Raja Lamuri menikahkan Ali Mughayat Shah dengan putri raja Aceh.

Dari ikatan pernikahan ini, kedua kerajaan di tanah rencong tersebut meleburkan kekuasaan dan melahirkan Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai pemimpinnya adalah seorang sultan dan dimandatkan kepada Ali Mughayat Shah.

Kesultanan Aceh Darussalam sejak berdiri telah melandaskan asas negara dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan Islam alias kesultanan yang berkembang seiring mulai meredupnya pamor kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara.

Era Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda atau Sultan Meukuta Alam pada 1607-1636 M. Iskandar Muda adalah seorang pemimpin yang tegas terhadap penjajah untuk melindungi wilayah dan rakyatnya.

Suatu hari, Raja James I dari Inggris meminta kepada Sultan Iskandar Muda agar diperbolehkan berdagang di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Permohonan itu tertulis dalam surat berangka tahun 1615 masehi.

Namun, Sultan Sultan Iskandar Muda dengan tegas menolak. Ia paham betul mengenai misi Inggris di Aceh, yakni ingin menguasai seluruh sumber daya yang ada.

Penolakan serupa dialami pula oleh Portugis dan Belanda yang ingin menanamkan pengaruh di bumi Serambi Mekah.

Berada di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat. Wilayah kekuasaannya sangat luas. Selain itu, kesejahteraan rakyatnya terbilang makmur.

Menurut buku Aceh Sepanjang Abad (1981) tulisan Mohammad Said, di masa itu Kesultanan Aceh Darussalam mencoba merangkul negeri-negeri dan pelabuhan sekitar Selat Malaka agar jangan sampai tergoda dengan bujukan bangsa-bangsa asing.

Dari sisi perdagangan, harga hasil bumi tidak dipatok rendah untuk menyokong perekonomian kerajaan. Di samping itu, dibangun pula bandar dagang utama didirikan dan dilakukan pengawasan untuk pergerakan orang-orang asing.

Luasnya wilayah kekuasaan di era Sultan Iskandar Muda meliputi negeri sekitar Semenanjung Malaya, termasuk Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, sampai Patani (Thailand bagian selatan). Sebagian besar Sumatera juga telah dikuasai. Itu semua tidak lepas dari penaklukkan yang dilakukan Kesultanan Aceh Darussalam.

Angkatan perangnya, terutama angkatan laut, telah dilengkapi kapal-kapal canggih di masanya. Kapal-kapal perang ini memiliki meriam yang siap dimuntahkan ketika bertemu musuh. Angkatan darat memiliki puluhan ribu prajurit, pasukan kuda, dan pasukan gajah.

Kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam kala itu sangat diperhitungkan. Portugis sudah menyerah lebih lebih dahulu. Belanda yang datang kemudian, akhirnya memilih wilayah lain seperti Jawa dan Maluku.

Inggris pun demikian yang semakin sulit masuk ke Aceh. Padahal, sebelumnya Kerajaan Inggris telah menjalin relasi baik dengan Kesultanan Aceh di masa sebelumnya.

TELAH wafatlah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah, pada 21 Ramadhan 1439/6 Juni 2018, pukul 06.45 WITA di RS Kota Mataram, NTB. Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018).

Wafatnya Cahya Nur Alam mengingatkan kita kembali pada kakeknya, Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah. Berikut kami kutip penuh yang diberitakan okezone.com beberapa waktu lalu.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884–1939) memiliki andil dalam berdirinya Republik Indonesia. Ia mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Namun, jasanya kini nyaris terlupakan.

Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.

Guna mengenang sosok Sultan Muhammad Daud Syah dan jasanya, sejumlah komunitas peduli sejarah Aceh dalam beberapa tahun terakhir rutin menggelar acara haul atau mengenang hari mangkat Sultan di kompleks makam raja-raja Aceh di Banda Aceh.

Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan aksi itu dilakukan pihaknya secara sukarela untuk mengajak masyarakat terutama generasi muda mengenal sosok dan perjuangan Sultan.

“Kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal, beberapa waktu lalu.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh.

“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally (meninggal dunia pada Selasa 22 Mei 2018), mengatakan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan. Sebab saat kepemimpinannya, Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“(Selama) 65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikit pun negerinya kepada musuh,” kata Ramli, semasa hidupnya.

Ia mengatakan, satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.

“VOC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di Nusantara selama 200 tahun,” tutur Ramli, semasa hidupnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1530). Puncak kejayaannya berada pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).

Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam mulai dari Sumatera hingga semenanjung Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah empat kali dipimpin oleh sultanah atau raja perempuan.

Saat Tuanku Muhammad Daud Syah masih bocah, Kerajaan Aceh Darussalam dalam kondisi genting akibat perang. Ia diangkat menjadi sultan ke-35 Aceh pada usia 7 tahun, menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil merebut Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Dikarenakan istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi Kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda. Usai dilantik, ia menyandang gelar Sultan Alaidin.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dan negara dikendali Dewan Kesultanan.

Kabinet teras Kerajaan Aceh Darussalam saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb); Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri); dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian timur.

Perang masih terjadi di mana-mana. Pasukan Aceh tiada henti menyerang serdadu Belanda. Lewat pertempuran sengit di Montasik, Aceh Besar pada 1878, Belanda akhirnya menguasai benteng Montasik.

Karena lokasinya mulai dekat dengan konsentrasi musuh, dewan kesultanan akhirnya memutuskan agar pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie.

Selama 20 tahun, Keumala menjadi Ibu Kota Kerajaan Aceh. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda saat itu, mulai mengatur pemerintahan dan negara di Keumala.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Karena tak mampu mengalahkan tentara Aceh, serdadu Belanda akhirnya menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkota, Tuanku Raja Ibarahim. Mereka disandera. Strategi itu dilakukan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah.

Saat ratu dan putra mahkota ditawan, pemimpin pasukan Belanda, Van Der Maaten, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah, untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.

Sultan akhirnya menuruti ajakan musyawarah itu. Ia pun datang dengan beberapa pengawalnya. Celakanya, begitu sampai di tempat yang dituju, sultan dan pengawalnya langsung ditahan pasukan Belanda.

Sultan Muhammad Daud Syah dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ia langsung menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan Muhammad Daud Syah lalu dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan ditawan di sebuah rumah di kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan itu, sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh.

Sultan juga mengirim surat kepada Kaisar Jepang, meminta agar membantu pasukannya mengusir Belanda dari Aceh. Surat itu dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium pihak Belanda. Van Heutz, pemimpin Belanda saat itu berang dan memutuskan mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Maluku. Alih-alih sebagai tawanan perang, Sultan Muhammad Daud Syah malah disambut warga hangat di Ambon.

Menurut sejarawan Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat diasingkan ke Maluku, Sultan Muhammad Daud Syah dianggap sebagai tamu kehormatan oleh Raja Samu-Samu yang berkuasa di sana. “Sultan kemudian mendakwahkan Islam, membawa syiar Islam di sana,” ujarnya.

Karena jatuh cinta dengan Islam dan tersentuh dengan merdunya bacaan Alquran Sultan Muhammad Daud Syah, kata Abdurrahman, maka beberapa keluarga Raja Samu-Samu kemudian bersedia masuk Islam.

“Belanda makin marah, akhirnya Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat diasingkan lagi ke Batavia (Jakarta sekarang),” tutur Abdurrahman Kaoy.

Saat ditawan di Batavia, kata dia, Pemerintah Belanda berulang kali meminta agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan kekuasaan Aceh secara resmi kepada Belanda. Tapi, Sultan tetap pada pendiriannya; menolak Aceh dikuasai Belanda.

Ia hanya menyerahkan tubuhnya ke Belanda, tapi tidak membiarkan harga diri dan kedaulatan negaranya takluk ke musuh. Sikap itu dipertahankan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah sampai ajal menjemputnya pada 6 Februari 1939. Ia mangkat dalam tawanan Belanda di Batavia dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Pusaranya kini kerap tak terurus. Tak ada juga gelar pahlawan nasional untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.[]Sumber:okezone

Editor: THAYEB LOH ANGEN

%PDF-1.4 %âãÏÓ 179 0 obj << /Linearized 1 /O 182 /H [ 797 292 ] /L 7482083 /E 199484 /N 42 /T 7478384 >> endobj xref 179 10 0000000016 00000 n 0000000551 00000 n 0000000646 00000 n 0000001089 00000 n 0000001251 00000 n 0000001364 00000 n 0000001521 00000 n 0000001600 00000 n 0000000797 00000 n 0000001067 00000 n trailer << /Size 189 /Info 169 0 R /Root 180 0 R /Prev 7478373 /ID[<9787a9540f277d34a2bde1ccbd911f18>] >> startxref 0 %%EOF 180 0 obj << /Type /Catalog /Pages 168 0 R /Metadata 170 0 R /AcroForm 181 0 R >> endobj 181 0 obj << /Fields [ ] /DR << /Font << /ZaDb 165 0 R /Helv 166 0 R >> /Encoding << /PDFDocEncoding 167 0 R >> >> /DA (/Helv 0 Tf 0 g ) >> endobj 187 0 obj << /S 242 /V 279 /Filter /FlateDecode /Length 188 0 R >> stream H‰b```a``–e`f`ìRcb@ › ˆ9PA<_H…‘}Ä…€–PÆ©�†ž3}/„]ÙÙ©7ÁÉbÒVƒ—o]£$ô¯4Ú®œvðÓÞ­:Óbî(hmylê´5·mÚ³–Ifï}“W*”e»è¸1pç–)‚[bW;ÐÜx( bV(f`ðúVä “£ÃA°ª¥E<ç€43› D@€ ¢GWF endstream endobj 188 0 obj 176 endobj 182 0 obj << /Type /Page /Parent 172 0 R /Resources 183 0 R /Contents 184 0 R /MediaBox [ 0 0 612 792 ] /CropBox [ 27.36 0 576 792 ] /Rotate 0 >> endobj 183 0 obj << /ProcSet [ /PDF /ImageB ] /XObject << /Im17 186 0 R >> /ExtGState << /GS1 185 0 R >> >> endobj 184 0 obj << /Length 83 /Filter /FlateDecode >> stream H‰*äÒJÍI,É,KuÎÏÉ/ÊÌM-)ÊLV(ÊTàÒw6TH/æ*ä234R0 BsS=s3 ÃXÏÐT!9—Kß3×Ð\Á%Ÿ+ ms endstream endobj 185 0 obj << /Type /ExtGState /SA false /SM 0.02 /TR2 /Default >> endobj 186 0 obj << /Type /XObject /Subtype /Image /Width 1275 /Height 1637 /BitsPerComponent 8 /ColorSpace /DeviceGray /Length 197551 /Filter /DCTDecode >> stream ÿØÿî Adobe d€ ÿÛ C "")""""""),))))),222222;;;;;;;;;;;;;;;ÿÀ eû" ÿÄ ¢ 3 !1AQa"q�2‘¡±B#$RÁb34r‚ÑC%’Sðáñcs5¢²ƒ&D“TdE£t6ÒUâeò³„ÃÓuãóF'”¤…´•ÄÔäô¥µÅÕåõVfv†–¦¶ÆÖæö7GWgw‡—§·Ç×ç÷ÿÚ ? õT’I$’I$’I$’I$’I$’Q.ºoU¾#ïOê7Ä}êi«÷Û÷„ÿ h¯÷›÷„¾Ñ_ï½GíUÎ ª‡.L2ë<þk¿¹?Ú™çþiþä¾ÒÏ?¸¥ö¦þë¿Í)}¥¾û’ûH"C]÷&9QùŽü?½ ΢+kÈïEûI"Cà‘ÈxüÂ~a?®èúï ŸÙ£ïÿ bau‡óßþÄ�¶>ôÞ¥Þ ûÊ^¥Þ ûÊpëOî�½6ë�üØøïRý!îËýª¦îá&‹cSø&>§ï~ m³÷ÏÜ?¹1m‡‡Ÿ¸rN­ä}7¹EÔ<ˆõ¯š‹(w»ïS4é£�þqL(žK�̨ý‘£]Î)}™¥ºOÞT†+ >ýRvNå ¦8ÌÒ@û”Å-o )ŠôK`H²RÙ ¶T}!*B½ $k à Bm�>Å"K{'ôÄ¥µ Äð –ÔÐ{ Û$í rRmÑ"Ø„¶Ê�$BPg âT‡.R)ÀO¤Dò˜'M ”'&L‚`ýMÓ£Wý@¬@I$’€”&N’b9 “BQ Br¸T¢¤žS%˜�å.)�Nš8J›>ˆRI$’I$“'I$’I%XºÂ}® |~�‚wýÀ!9¹VÛÙjfn²öÇoõ„Zë¿óÞxíþäâ«?Ò?ðþä½+?Ò?ðþä½?Ò?ðþå6±ã—8§5O.wùÅ/CùNÿ 8ÿ zo³ÉqŸå¾ÌÁã÷”†3<>òRn%mDJ_f¯÷FžIÎ=g–�¹8¥ƒ†·îRôÇ`oI§�4H°á¡9hL ÃRÚÂD%µ0j[T]\§hS„ƒR„€O BP›jt‚`Ž„Ä$D§à&<% B`Ú�!ÀÇm‘) „Á°gÅJ&îœéО!4x¤xLD'á0) £´ @&0 ™8Ñ#Âb?*]Ó̤<Òì˜ š!Á¨D “ÂI&NQ{Ã#q‰0>*A$¡DwR9ŸÍ›ý¿ê…e#ªA9L’\¤I‚R”&N— % $P�ó£ú¨°‘QO “ ‚xHü¦L¥_Ñ I$’I$’dé$’I&(@HN„Á©£U Ø m’J'T¶Á”ðž!4$� ˆLBr�RÚ— ˆKD¡:R’dã„ÚˆJ8N”%:ÂIá2Iá(LA!Ĥ¤¢’bÂI¡ œð”¥ .R î¥ “¥ÊˆåI$‚P‘JI(J„’&Å$åF€L5å:cÂD@K”ü‚Iš¥vršE$’H$�H„’I0Rf+*=3\Zÿ ª”¡0N™$’$¸H$RH¤S' Š ?¦ù'ò£&I<¨ê�(L¥ÂA9QIJ¾’I$’I$ÉÒI$’Ip�º„¡( »$Ý

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Beliau juga sebagai salah satu Sultan Palembang yang alim dan bijaksana.Nama lengkapnya ialah Sultan Ahmad Najamuddin anak Sultan Mahmud Badaruddin Lemabang

Ibunya bernama Raden Ayu Ciblung binti Pangeran Surya Wikrama Subekti bin Sunan Abdurrahman Candi Walang. Ia dilahirkan sekitar tahun  1710 M di lingkungan Keraton Palembang. Putera ke 2  dari 32 bersaudara.

Sebagaimana biasanya di lingkungan keraton, pendidikan awalnya didapat dari ayahnya sendiri, Sunan Lemabang, kemudian ia menuntut ilmu agama pula kepada ulama-ulama besar Palembang waktu itu seperti: Faqih Jalaluddin, Khatib Ahmad Marta Kusuma, Syekh Sayid Abdurrahman Maula Taqoh, dll. Gurunya yang tersebut terakhir ini seorang habib yang menjabat sebagai ulama dan imam di kesultanan.

Selain dikenal sebagai ulama dan waliyullah, ia juga sebagai tokoh pembangunan baik dalam bidang fisik maupun ekonomi.

Pada tahun itu juga ia membangun menara Masjid Agung Palembang (menara lama). Sedang untuk pemakamannya, ia membangun “Gubah Tengah” di komplek Kawah Tekurep Lemabang.

Dalam bidang ekonomi, ia mulai  mengadakan kontrak dagang dengan kompeni Belanda terutama lada dan timah , serta memperbaharui surat-surat perjanjian lainnya yang dibuat pada masa Sunan Abdurrahman (1662, 1678, 1679, 1681, 1691), Sultan Agung (1722) dan Sunan Lemabang (1755), dll.

Putera-Puteri Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo

Sultan Ahmad Najamuddin  mempunyai lebih  delapan orang isteri, yang tertua ialah Permaisuri Ratu Sepuh Raden Ayu Murti  binti Pangeran Arya Kusuma Cengek bin Pangeran  Ratu Purbaya, Masayu Kedaton Brunai, Nyimas Banowati, Masayu Kecik, Masayu Sa’diyah, Masayu Buri, Masayu Kasiah, Nyimas Tijah, dan lain-lain. Dari perkawinannya ini dianugerahi 46 orang anak.

Sultan Ahmad Najamuddin wafat tanggal 6 Zul Qaidah 1190H (1776), malam Senin. Dimakamkan di Gubah Tengah.

tirto.id - Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi). Kala itu, kerajaan bercorak Islam yang berpusati Kutaraja Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh) ini memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan angkatan perang yang kuat.

Aceh memiliki sejarah panjang sebagai salah satu lokasi kerajaan Islam awal di Nusantara. Di tanah rencong, pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai (1272-1450 M) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) yang berlokasi strategis di Semenanjung Malaya.

Kesultanan Samudera Pasai kerajaan Islam pertama di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan di Aceh. Namun pada paruh akhir abad 14 masehi, Samudera Pasai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit.

Ditambah dengan munculnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-15 masehi sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka membuat pengaruh Samudera Pasai semakin luruh.

Hingga akhirnya, Portugis datang dan merebut Malaka pada 1511. Saat itu, tahun 1496, muncul cikal-bakal Kesultanan Aceh Darussalam. Kehadiran kesultanan ini menggantikan posisi kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai di Serambi Mekah.

Keruntuhan & Peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 27 Desember 1636, seperti dikutip dari laman Pemprov Aceh, Kesultanan Aceh melemah di tangan penerus-penerusnya.

Kesultanan Aceh perlahan merosot wibawanya dan mulai terpengaruh oleh bangsa lain. Bangsa Barat mulai menguasai Aceh dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera.

Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh dan terjadilah Perang Sabi selama 30 tahun. Banyak jiwa yang menjadi korban.

Akhirnya Sultan Aceh terahir, Sultan Muhammad Daud Syah, mengakui kedaulatan Belanda di Aceh.

Sejak saat itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) yang kemudian menjelma sebagai Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia

Sisa-sisa peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam masih ada yang bertahan hingga sekarang.

Beberapa di antaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Taman Sari Gunongan, Benteng Indra Patra, dan meriam Kesultanan Aceh.

Di samping itu ada pula Masjid Tua Indrapuri, makam Sultan Iskandar Muda, uang emas Kerajaan Aceh, stempel cap Sikureung, kerkhof, pedang Aman Nyerang, dan berbagai naskah karya sastra.

Sejak dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam oleh kolonialisme Belanda pada tahun 1823, maka kebudayaan, adat istiadat masyarakat Palembang mengalami kemunduran. Para pewaris, anak cucu keturunan dan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam menyadari untuk tetap mempertahankan dan melestarikan serta mengembangkan tradisi dan kebudayaan Palembang Darussalam.

Setelah hampir dua abad tenggelam, sebagian masyakat Palembang menyadari perlunya untuk membangkitkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam yang banyak meninggalkan kekayaan seni, budaya, maupun ilmu pengetahuan di Sumatera Selatan dan di Nusantara.

Namun Kesultanan Palembang Darussalam bukan seperti pada masanya dahulu. Kesultanan Palembang sekarang ini hanya sebatas sebagai simbol budaya adat istiadat dan sosial masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan, sehingga mereka tidak buta sejarah serta menghargai apa yang telah dilakukan oleh para leluhur terhadap bangsa dan negara ini. Untuk itu diperlukan tokoh pengayom yang penuh tanggung jawab dan inovatif dalam rangka untuk menghidupkan kembali budaya dan adat istiadat Palembang Darussalam.

Beranjak dari kesadaran tersebut, pada tanggal 18 November 2006, para zuriat/keturunan sepuluh sultan yang pernah berkuasa di Palembang, beserta zuriat melayu di Sumatera Selatan, melakukan musyawarah mufakat yang akhirnya mengukuhkan IR.H. R. Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan dilantik serta dinobatkan di halaman dalam Benteng Kuto Besak pada tanggal 19 November 2006, yang dihadiri oleh Gubernur dan unsur Muspida provinsi Sumatera Selatan.

Tapi jauh sebelum dikukuhkan sebagai Sultan Palembang, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin telah dipercaya untuk menjadi Ketua Umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam dan dilantik pada tanggal 4 September 2005 di halaman dalam Benteng Kuto Besak. Dimana dalam salah satu visi yang di emban adalah untuk menghimpun kembali para zuriat/keturunan para Raja atau Sultan yang pernah berkuasa di Palembang yang tersebar di seluruh Nusantara.

Dalam mengemban amanah tersebut, beberapa agenda kerja sosial dan budaya yang telah dilakukan oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, seperti perbaikan makam para Sultan – Sultan Palembang Darussalam, memberikan penghargaan kepada masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan yang berprestasi serta melacak, mengumpulkan dan memferivikasi bukti – bukti sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.

Berdasarkan silsilah Sultan – Sultan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin adalah keturunan dari tiga Sultan yang pernah berkuasa di Palembang. Pertama, dari pendiri Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan/Susuhunan Adbulrahman Kahalifatul Mukminin Sayidul Imam. Kedua, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Sultan ini memiliki Putra Mahkota Pangeran Ratu Purboyo yang tewas dizholimi diracun pada fajar hari menjelang penobatannya. Setelah tujuh turunannya, Allah SWT mentakdirkan zuriatnya menjadi Sultan. Ketiga, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin juga memiliki garis keturunan dari Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, saudara lain ibu Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dimana Raden Lumbu Pangeran Nato Dirajo bin Pangeran Ratu Purboyo bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago menikah dengan anaka Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo.

Pengukuhan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang direstui oleh ahli Nashab Kesultanan Palembang Darussalam, yakni Let. Kol. (Purn) A.L.R.M. Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan zuriat dari Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu bin Sultan Mahmud Badaruddin II serta dari zuriat Sultan terakhir, R.M. Syarifuddin Prabu Anom dari zuriat terakhir Sultah Ahmad Najamuddin Prabu Anom, Sultan terakhir yang dibuang oleh Belanda ke Menado Tua dan sampai sekarang makam Sultan tersebut belum ditemukan.